Materi tentang
suatu hal yang baru dalam dirinya, yang membuatnya membuka mata akan apa yang
sedang terjadi didalam negeri dimana ia dilahirkan, tetapi akan selalu
dicintainya bagaimanapun kebobrokkannya.
Pagi itu didalam
ruangan yang berkapasitas (kurang lebih) 40 orang itu tampak senyap. Guru yang seharusnya
sudah berada dikelas setelah bel masuk dibunyikan belum kelihatan batang
hidungnya, mungkin masih berusaha menaiki anak tangga yang melingkar.
Kicauan murid
yang didominasi anak perempuan sepagi ini belum terdengar. Mungkin mereka malas
memulai percakapan pagi ini, atau malah gugup karena hari ini setiap siswa
diharuskan untuk berbicara didepan kelas. Satu-dua murid masih ada yang melipat
tangan menyibak udara dingin pagi, tiga-empat malah menguap lebar-lebar.
Diruangan (kurang
lebih) 9m x 8m itu terdapat dua kelompok siswa berdasarkan tata letak
duduknya, mereka biasa menyebutnya dengan kelompok sayap kanan—anak-anak yang
duduk dibagian kanan, dan sayap kiri—anak-anak yang duduk dibagian kiri. Mereka
dipisahkan oleh ‘jalanan’ ditengah-tengah ruang kelas, ruang kososng yang
sengaja tidak ditempati murid untuk akses jalan.
Sudah hampir setahun
mereka bersama-sama menempati kelas yang
baru dicat ulang diawal tahun ajaran baru lalu. Diatas papan tulis putih
didepan kelas, terpasang gambar Presiden yang sudah menjabat dua periode
berturut-turut itu dengan Wakilnya, yang tentu saja berbeda dimasing-masing
periode. Ditengah-tengah gambar Presiden dan Wapres, terletak gambar besar
Burung Garuda beserta Pancasila yang sengaja diletakkan lebih tinggi daripada
gambar Presiden dan Wapres. Gambar-gambar itu seakan menjadi saksi atas apa
yang telah terjadi setahun belakangan ini dikelas yang dianggap ‘unggulan’
itu.
*Tertawa hambar* Kau tau? Jika sebenarnya sayap kanan-sayap kiri mempunyai kebiasaan yang
bertolak belakang satu sama lain, tetapi bisa tetap berteman dengan segala
kerumitannya? Haa… seluruh siswa dikelas itu pasti tahu betul, jika kelompok
sayap kiri merupakan kelompok dengan tingkat kekaleman yang tinggi. Anak-anak
yang termasuk dalam sayap kiri memang cenderung pendiam, mereka tidak akan
membuat gaduh seperti yang dilakukan anak-anak sayap kanan. Selain itu,
peringkat 1, 2, dan 3 dismester genap merupakan anak-anak yang berasal dari sayap
kiri. Yaa, mereka memang selalu semangat belajar.
Berbeda dengan
sayap kiri, sayap kanan memang selalu dominan untuk membuat kegaduhan didalam
kelas. Iyaa, anak-anak di sayap kanan memang hobi bercakap-cakap ria, membuat
kelas menjadi ramai. Masalahnya bukan itu, tetapi…ketika anak-anak sayap kanan
bercakap-cakap suara yang dikeluarkan bisa terdengar sampai keluar kelas. Ada yang
menggosip, berbincang-bincang mengenai gebetannya yang meminta kepastian,
bercincang tentang SM*SH boyband yang menurutku—kemayu, dan lain sebagainya.
Ah, itu memang sudah biasa untuk sayap kanan. Tetapi jangan salah, anak-anak
sayap kanan juga tak kalah semangatnya untuk belajar. Buktinya saja dismester
ganjil peringkat ke 2 dan 3-nya berasal dari sayap kanan.
Kedua kelompok
itu memang berbeda, tetapi mereka sama. Walaupun mereka dipisahkan oleh jarak
tempat duduk, itu tidak membatasi pertemanan mereka. Meskipun terkadang terjadi
perselisihan, tapi yaa seperti itulah mereka. Sebutan kelompok 'sayap kanan' dan 'sayap kiri' itu hanya sekedar identitas, agar tidak susah payah membedakan mana anak sayap kanan, dan mana anak sayap kiri. Bukan dijadikan sebagai tameng untuk membuat "gank".
Dan, disanalah
siswi itu berdomisili. Umm, maksudku duduk. Iyaa, ia duduk dibagian sayap
kanan. Sama seperti halnya anak sayap kanan yang lain, siswi itu pun terkadang
membuat gaduh kelas. Membuat tingkat keberisikan jauh lebih tinggi. Tetapi berbeda
dengan pagi ini, ia terlihat sedikit kalem seperti sedang bersiap-siap
mengeluarkan ledakan-ledakan.
Apalagi yang
membuat dirinya sangat excited selain berdiri didepan kelas untuk menumpahkan
apa yang ada dikepalanya. Ia senang sekali berbicara didepan orang, untuk
berbagi pendapatnya agar orang lain setuju dengan jalan pemikirannya. Terlebih,
hari ini ia akan menumpahkan sesuatu yang sudah sangat matang, sesuatu yang
memang dengan senang hati ia bagi kepada orang banyak—selain untuk mendapatkan
nilai. Sesuatu yang baru ini memang sedikit asing baginya.
**
Guru yang
ditunggu akhirnya datang. Memasuki kelas dengan sedikit bergidik karena
berbarengan dengan udara yang berhembus masuk ke dalam kelas. Pagi ini Pak Guru
berambut klimis seperti habis diolesi minyak. Langsung menuju mejanya,
meletakkan buku dan menarik kursi, kemudian duduk. Ketua kelas tanpa perlu
diberi kode langsung sigap menyiapkan ritual sebelum pelajaran dimulai. Berdoa.
“Selesai,
mengucapkan salam.” Tegas ketua kelas setelah membaca doa. Anak-anak tanpa
perlu menunggu dua kali langsung mengucapkan salam kepada guru yang masih
menundukkan kepala.
Hening sejenak.
“Jadi, siapa
yang akan maju hari ini?” pertanyaan Pak Guru tanpa basa basi setelah menjawab
salam. Baik anak sayap kanan dan kiri saling menatap teman disampingnya
masing-masing. Bingung dan gugup. Siapa pula yang akan berbicara didepan kelas
pagi-pagi begini, pikir mereka. Beberapa saat, kelas yang berada dilantai 2
gedung sekolah itu sunyi.
Siswi yang
sangat bersemangat itu melirik kearah kirinya untuk melihat teman yang dulunya
satu kelompok—sayap kanan—yang sibuk bertanya dengan teman disebelahnya untuk
maju sekarang atau nanti setelah jam istirahat. Teman disebelahnya yang nampaknya
belum mempunyai materi sama sekali malah bersemangat untuk menyuruh gadis
berambut pendek itu untuk maju sekarang, mendahului teman-teman yang lain. Tanpa
pikir panjang, gadis berkacamata dengan frame merah itupun melangkah maju
menuju meja guru. Buku yang dibawanya diletakkan percis didepan Pak Guru yang
tak sabar ingin memberi tandatangan, bukti bahwa murid yang bersangkutan telah
menunaikan tugasnya.
Dan tanpa
ba-bi-bu gadis itu memulainya dengan kata-kata yang klasik. Anak-anak dikelas
diam menyimak, dan sedikit terkesima olehnya. Pertama karena beraninya gadis
itu untuk maju pertama, nomor urut pertama biasanya yang paling menakutkan. Dan
kedua karena kata-katanya yang terdengar begitu hangat ditelinga, ditambah dengan
intonasinya yang pas. Pak Guru yang tadi sibuk membuka buku gadis itu pun ikut terdiam menyimak.
Siswi yang duduk
disayap kanan itu pun ikut takjim, mengamati cara gadis itu berbicara, gesture
tubuhnya, dan pengamatan lainnya untuk mempelajarinya dan mempersiapkannya jika
nanti giliran ia yang maju. Siswi itu sudah mempunyai bayangan-banyangan akan
seperti apa nanti jika gilirannya tiba.
Sekitar lima
menit gadis itu berbicara didepan kelas, ia mengakhirinya dengan salam. Siswi yang sedari tadi mengamatinya hanya
mengangguk perlahan, tanda jika ia ikut setuju dengan apa yang disampaikan gadis
itu tentang gaya berpacaran anak muda jaman sekarang yang semakin menjadi-jadi,
yang telah meninggalkan jauh aturan-aturan agama dan masyarakat.
**
Pak Guru berbicara sedikit mengenai gadis berambut pendek itu yang baru saja kembali duduk dikursinya. "Bagus. Materinya berbobot untuk remaja seumuran kalian. Gaya berbicara sudah benar, tapi masih kelihatan sedikit gugup untuk gesture tubuh. Siapa lagi selanjutnya?"
Ada yang menyenggol tangan siswi itu. Kaget, iya pun langsung menoleh.
"Ada apa?" Ujarnya kepada gadis berjilbab disebelahnya.
"Majulah sekarang jika materimu sudah cukup matang, tunggu apa lagi?"
Siswi yang sebenarnya tadi pagi sudah tidak sabar untuk maju ke depan kelas itu sempat terdiam, berfikir. Bagaimana bisa semangat yang menggebu-gebunya tadi luntur begitu saja? Baiklah, jika diulur lagi materi yang sudah ditatanya dengan rapih akan terlupakan.
Dengan melipat-lipat kertas folio yang berisi materinya—karena gugup, iya pun maju ke depan kelas. Siswi itu memang tidak menuliskannya dengan rapih dibuku tulis, jadilah Pak Guru sedikit mengernyit ketika diberi kertas folio, yang sudah dilipat-lipat pula.
Dari belakang sayap kanan, teman siswi itu berkata "Yah, kalau dia yang maju sampai kapan kita akan mendengarkannya bicara?" Anak-anak tertawa, siswi itu pun ikut tertawa. Yap, memang siswi kita yang satu ini karena suka berbicara didepan orang banyak, maka banyaklah juga materi yang dibicarakannya.
Ia kembali fokus. Tangan siswi itu sedikit bergetar saat mengucapkan kalimat pembuka, gugup. Belum menemukan alurnya. Omongannya pun terbata-bata saat mengucapkan kalimat "Terimakasih telah mengizinkan saya berdiri didepan kelas pagi ini............."
**
Pagi ini saya akan mengangkat materi tentang, POLITIK. Anak-anak takjim mendengarkan dengan pandangan penuh kepada siswi itu.
Saya tertarik kepada politik karena memang tidak mempunyai pilihan lain. Perlu kita sadari bahwa selama kita hidup di Negara dengan suatu sistem pemerintahan, maka kita pasti berpolitik. Mau tidak mau, suka tidak suka, disadari atau tidak disadari.
Siswi itu mulai menemui alurnya, mulai berani menggunakan gesture tubuhnya untuk meyakinkan apa yang diucapkannya.
Setiap keputusan politik berhubungan langsung dengan kehidupan saya, umm kita bahkan.
Kita bisa saja tidak peduli dengan politik, tetapi dengan tidak peduli kita tidak akan pernah tahu ketika kita dibohongi, atau bahkan dicurangi. Hasil kecurangannya akan membuat kita kecewa, kekecewaan tersebut akan tampak lebih ironis karena diawali dengan ketidakpedulian tadi.
Siswi itu menyapu seluruh ruangan dengan tatapan matanya yang mantap.
Semakin kita buta politik, semakin mereka memanfaatkan kebutaan kita. Ketidakpedulian ini akan membawa korban. Korbannya adalah diri kita sendiri, rakyat Indonesia.
Semakin kita tidak peduli dengan politik, maka kita akan semakin bodoh akan politik, dan kebodohan itu akan dimanfaatkan oleh para "bedebah".
Siswi itu memperagakan tanda kutip dengan tangannya saat menyebutkan bedebah.
Oleh para bedebah yang berselimutkan jas dan sepatu hitam mengkilat, oleh para bedebah yang berlindung dibalik kekuasaan, yang boleh jadi—kekuasaannya itu didapatinya dengan cara kotor, oleh para bedebah yang belakangan ini sedang giat-giatnya melakukan pencitraan untuk merebut simpati masyarakat Indonesia untuk persiapan pemilihan umum Presiden 2014 nanti.
Siswi itu berdiam sejenak, menikmati wajah-wajah penasaran akan kelanjutan pembicaraannya.
Berbicara tentang pemilu Presiden 2014, kebetulan sekali kita akan ikut merasakannya untuk yang pertama kalinya.
Pendengar siswi itu mengangguk-ngangguk setuju seperti baru menyadari hal tersebut.
Dipemilu Presiden 2014 nanti, saya rasa akan ada banyak calon-calon penghuni bangku DPR ataupun DPRD yang memiliki passionate rendah terhadap Indonesia dan kompetensi yang rendah pula akan politik.
Kalau mempunyai passionate yang tinggi terhadap Indonesia tetapi tidak dibarengi dengan kompetensinya akan politik maka tidak akan bisa berbuat apa-apa. Dan kalau mempunyai kompetensi yang mendukung tetapi tidak mempunyai passionate terhadap Indonesia sebagai jangkar, maka uang akan membuatnya terombang-ambing jauh dari aspirasi rakyatnya!!
Dan siswi itupun bergetar seketika. Kali ini bukan karena gugup, tetapi karena gemuruh yang meledak-ledak dipikiran dan hatinya.
Seperti yang kita semua ketahui bahwa belakangan ini banyak partai-partai politik yang dengan sengaja merangkul artis-artis untuk terjun ke dunia politik. Seperti Dedi Mizwar, Dede Yusuf, Rano Karno, Eko Patrio, dan banyak lagi.
Apa kaitannya mereka dengan politik? Tidak ada. Dari dunia keartisan lalu berubah haluan ke politik? Hhh--' Mereka hanya dijadikan alat untuk merangkul masyarakat. Karena wajahnya yang selalu terlihat di layar kaca, maka masyarakat pun lebih familiar dengan mereka. Beberapa diantara artis-artis ini memang ada yang benar-benar mempunyai kompetensi, tetapi bagi yang tidak? Hhh--'
Tetapi satu ini yang tidak habis pikir, iya. Siapa yang menyangka kalau Julia Perez dan Dewi Persik pun sempat ditawari untuk terjun ke dunia politik.
Salah satu dari empat siswa laki-laki dikelas itu menyela, "Iya tuh Julia Perez masa. Parah kan, yaa?" Teman-teman yang lain kompak tertawa mendengarnya. Siswi itu pun ikut tertawa mengiyakan. Kemudian kembali meneruskan pembicaraannya.
Bisa kalian bayangkan bagaimana bisa pedangdut menyelesaikan konflik BBM yang semakin langka dan dengan harga yang semakin melonjak? Apa bisa dengan goyangan ngebor mereka dapat mengeluarkan minyak yang berada jauh didalam perut bumi itu? Apa bisa?
Siswi itu memperagakan 'goyang ngebor' didepan kelas. Tidak, yang satu ini tidak usah dibayangkan. Hahaha. Seluruh kelas tertawa menyaksikannya, bahkan siswi itupun tidak tahan untuk tidak tertawa atas kelakuannya sendiri.
Atau dengan belah durennya mereka akan membelah tanah untuk mencari minyak? Huh? It doesn't make senses, dude.
**
Dan aksinya pagi itu pun ditutup setelah menyampaikan pesan atas apa yang telah disampaikannya. Teman-temannya bertepuk tangan, bahkan ada yang 'standing applause'. Wow.
Kali ini tugasnya sudah tuntas, yaa. Misinya kali ini berhasil, setidaknya menurutku. Entah bagi pendengarnya.
-The End-
**
Note: Isi tentang politik diatas banyak diambil dari blog Pandji Pragiwaksono
0 komentar:
Posting Komentar