Selamat mencari, semoga lekas menemukan.
Menunggu
Layang-layang [2010]
Di
kutip dari buku Madre [Kumpulan Cerita] karya Dee.
Sebagaimana
hari kemarin dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi, dan entah berapa banyak
kemarin yang telah lewat, pukul 5.45 bekerku berdering. “Kring” bukan
“bip-bip”. Bagiku, kebisingan suara beker klasik punya daya tembus lebih tajam
ke alam bawah sadar. Bukan pukul 5.30 atau 6.00, tapi lima-empat-lima pas. Saat
itu matahari benar-benar misterius. Pagi yang menyisakan sejumput malam
sekaligus menjanjikan siang.
iPod-ku
menyala, melantunkan daftar lagu yang kuberi judul: “Bangun Tidur Ku Terus
Mandi”. Melalui serangkaian uji coba bertahun-tahun, kusimpulkan tujuh belas
lagu yang paling pas didengar saat matahari sedang misterius-misteriusnya.
Tapi
sebetulnya aku tidak langsung mandi. Yang pertama kulakukan adalah menenggak
segelas air putih di sebelah tempat tidur, lalu menyiapkan secangkir kopi “1,
2, 3” yaitu satu sendok kopi, dua sendok gula, tiga sendok krimer.
Cadangan energi sampai makan siang kudapat dari empat helai roti gandum utuh,
sepasang pertama kuselipkan selembar keju, pasangan kedua kutemploki telur mata
sapi mulus yang dimasak di microwave selama satu setengah menit.
Selesai
sarapan, aku mandi di bawah pancuran
dengan keran air dingin terputar persis 80 derajat, sementara keran air
panasnya 45 derajat. Ada potongan selofan merah sebagai penanda. Hasil uji coba
panjang dengan beragam temperatur air dan posisi keran.
Selesai
mandi, aku siap-siap mengenakan baju kantor dan semua perlengkapannya. Melaju
di jalanan diiringi kompilasi yang kuberi judul: “Naik, Naik, je Puncak
Gunung”, walau kantorku bukan di gunung. Isinya adalah lagu-lagu pembangkit
semangat agar aku bisa tiba di kantor dengan berseri-seri, tersenyum dan
menyapa semua orang, dari sat[am di gerbang denpan sampai ob yang datang
ke ruanganku membawakan segelas besar air putih.
Berbarengan
dengan datangnya air putih 700 mililiter itu, ponselku berbunyi.
“Selamat
pagi”. Suara Starla yang khas menyapaku. Merdu, tapi mengganggu. Enak didengar,
tapi selalu beruntut kurang enak. Berdasarkan statistikku, dia lebih sering
menelpon untuk minta tolong. Sedikit mengenai Starla: aku dan dia berkenalan
waktu masih baru sama-sama meniti karier. Aku seorang arsitek dan dia desainer
interior, dan selama beberapa tahun kamu bekerja di biro konsultan yang sama.
Kini kami sudah berbeda kantor. Starla menjadi feelancer, sedangkan aku
dengan biro konsultanku sendiri. Kami bersahabat baik sejak hari pertamakami
berkenalan. Sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai mukjizat.
“Aku
udah liat rumah sakitmu itu. Kamu banget. Kaku.” Demikian sapaan pertamanya.
“Coba MRI, deh. Kayaknya otak kamu sekarang udah benar-benar persegi,”
lanjutnya menggenapkan.
Aku
tersenyum kecil. Bagiku itu sebuah pujian. Sudah menjadi keahlianku untuk
mendesain bangunan masif seperti rumah sakit, gedung perkantoran, atau gedung
pertokoan. Bertolak belakagn dengan Starla, aku merasa sangat tertantang untuk
mengerjakan desain-desain raksasa yang menurutnya sangat membosankan.
“Kamu
juga MRI, deh. Otakmu sekarang pasti udah ngga jelas kayak lukisan abstrak.
Tinggal dibingkai terus dipajang di ruang tamu salah satu rumah tropis modern
rancanganmu itu.”
Starla
ngakak. “Satu-satunya yang bikin kamu masih hidup itu ya selera humormu, tauk.”
Aku
menghela napas. “Oh, Starla. Jangan sampai aku balik mencari alasan kenapa kamu
masih hidup, ya. Karena itu cuma sopir bajaj dan Tuhan yang tahu.”
Terdengar
Starla terbahak lagi.
Begitulah
kami. Hubunganku dengan Starla ibarat ritual minum jamu oah9t yang ditutup
dengan segelas mungil air gula. Ketidakcocokan yang justru berujung pada
persahabatan karib. Saking tahu betama ekstemnya perbedaan sifat dan selera
masing-masing, kami tek mempermasalahkannya lagi, tinggal menertawakannya saja.
Starla mengakui, aku adalah orang yang paling seing dia hubungi. Menghabiskan
waktu dan pulasa untuk mendengarkan cerita-cerita Starla yang luar biasa, dan
cerita-ceritaku yang begitu-begitu saja.
“Kompilasimu
yang...hmmm...apa judulnya, ya? Yang buat di pantai...”
Starla
tidak pernah ingat. “Yang buat siang, sore, malam?” potongku tidak sabar.
“Malam”
“Di
Bawah Sinar Bulan Purnama.”
“Ya,
itu. Minta tolong di-burn ke CD boleh, ya? Aku butuh buat weekend
ini. Nanti aku ambil.”
“Oke.
Bye!”
“Kenapa
sih playlist-mu namanya aneh-aneh? Untung ketolong selera musikmu.”
“Tujuannya
supaya gampang diingat. Tapi ternyata beberapa orang tertentu tetap aja ngga
ingat-ingat. Bye, Starla!”
“Nanti
makan siang bareng ya, Che.”
“Kapan
sih kamu bakal berhenti manggil aku ‘Che’?”
“Nggak
tahu, Che. Kayaknya nggak ada rencana berhenti, sih. Bye!”
Telepon
menutup di ujung sana. Kenapa jadi dia yang duluan? Sialan.
Namaku
Christian. Dan Starla hanya mau berhenti dampai huruf pertamanya saja.
**
Kuperhatikan pelayan restoran yang melayani meja kami. Memastikan bahwa ia benar-benar siap mencatat. Aku berdehem. “Satu dori steak, light oil, saus lemon-nya terpisah. Salad-nya pkai vinaigrette. Baked potato, tanpa topping. Minumnya satu botol perrier, still, suhu ruangan.”
Pelayan
itu sibuk mencatat. Setelah itu ia beralih pada Starla.
“Saya
minta es teh tawar, makanannya...” sekilas Starla melirik menu Today’s
Special yang diletakkan di meja, “ini, deh.”
Starla
kemudia permisi cuci tangan. Begitu ia berdiri, mataku memandang berkeliling.
Selalu sama. Setiap mata laki-laki terpusat padanya. Banyak perempuan cantik di
belantara Jakarta ini, tapi rasanya tidak ada yang memiliki efek penghisap
perhatian sepertiStarla. Jangan bayangkan Starla itu berbusana serba mikro
dengan tonjolan atau belahan di sana sini. Dandanannya bukan pemompa testosteron.
Jadi apa penyebabnya? Hipotesisku: karena Starla tidak peduli. Ia melenggang
seolah ia sendirian di muka Bumi. Ia tidak peduli kecantikannya, dan
ketidak-pedulian itu seolah menjadi mesin pembangkit pesona. Barangkali.
Sekembalinya
Starla, CD yang ia minta sudah kuletakkan manis di atas meja. Plus, sebuah
pertanyaan klasik: “Jadi, siapa laki-laki sial itu?”
Starla
tersenyum. “Dia kontraktor, lagi ada proyek hotel di daerah Carita. Aku ikut
nemenin.”
“Lagu-lagu
ini memang paling cocok didengar di teras vila, menghadap pantai. Sekarang pas
bulan purnama pula. Good timing, Starla. Hebat.”
Starla
hanya mengangkat alis, dan menyeruput tehnya.
“Kamu,
kok, kayaknya nggak terlalu semangat.”
“Perasaanku
nggak enak. Kayaknya dia bakal sama dengan yang lain-lain.”
“Nggak
usah pergilah.”
“Udah
kepalang janji.”
“Tenang
aja, kamukan pasti udah punya SOP-nya. “
Starla
menggelang. “Biar ending-nya sama, respon mereka berbeda-beda. Ada yang
gantleman, ada yang ngambek terus banting-banting barang. Aku nggak pernah
tahu pasti, Che. Nggak ada SOP untuk menghadapi yang beginian.”
“Dan
kamu tetep aja nggak kapok-kapok.”
Posisi
duduk Starla langsung menegak. “Kami dua orang dewasa yang bisa tanggung jawab
atas keputusan masing-masing, oke? Apa salahnya saling suka, jatuh cinta,
mencoba-coba? Semua yang di dunia ini juga dilewati pakai proses itu. Mau pilih
mobil kek, mau pilih baju...”
“Kalau
kita tahu pasti apa yang kita mau, ngapain buang energi buat coba-coba? Masalahnya,
kamu ngga pernah tahu apa yang kamu mau.”
Starla
kelihatan sudah ingin balas menyambar. Tapi ia tahan. Kami berdua tahu,
pembahasan ini tidak akan ada ujungnya. Dan persahabatan kami ini lebih
berharga dari sekedar mempertengkarkan prinsip yang sudah jelas-jelas beda.
Kami pun diam dan mulai makan.”
“Kalau
ada apa-apa, telpon ya.”
Starla
mengangguk.
Kami
tahu, tidak akan terjadi apa-apa. Apapun badai yang dihadapinya, Starla selalu
kembali dengan utuh tanpa goresan.
**
Malam
minggu ini aku ketemu Starla di bioskop. Tentu, aku bukan janjian nonton
dengannya. Kebetulan saja ini bioskop favorit kami berdua, tempat yang menjadi
saksi bisu kesendirianku serta kebersamaan Starla bersama aneka manusia
berjenis kelamin pria dengan beragam bentuk dan profesi. Ia mengantre percis di
belakangku, menggandenga seorang cowok ganteng yang berpenampilan rapi.
“Studio
1. Nomor...”
“A1!”
celetuk Starla dari balik bahuku.
“Makasih,”
gumamku masam. Apa mau dikata. Dia hafal kebiasaanku nonton sendirian di pojok
bioskop.
Mereka
juga menonton film sama. Aku berkenalan dengan pria dandy itu, yang dari
kartu namanya, aku tahu ia bekerja di sebuah perusahaan rekaman.
Sembunyi-sembunyi, aku mengacungkan salam tiga jari alias salam metal pada
Starla.
Mata
Starla langsung melotot. Kepalanya menggeleng.
“Ini
bukan gitaris band heavy metal yang kamu ceritain itu? Pantesan, kok,
malah kayak anggota boy band.”
“Ini
produsernya.” Starla balas berbisik.
“Naik
ranjang kamu? Ngga sopan,” aku terkekeh.
“Habis
yang gitaris itu mulai aneh-aneh. Habis, belum apa-apa tuh cowok udah mau
pindah ke apartemenku.”
“Langkah
fatal,” aku manggut-manggut setuju. “Kalau yang ini gelagatnya gimana?”
“Sejauh
ini oke. Kita lihat nanti.”
Dalam
semesta seorang Starla, “nanti” adalah rentang waktu yang pendek. Tak sampai
sebulan dari sekarang, di tempat sama, aku beranii taruhan sepuluh kilogram fillet
ikan dori, bahwa dia akan menonton film dengan jenis pria lain. Dan masih
kunantikan pemunculan atlet sepak takraw, ilusionos, atau pawang ular. Dalam
semesta seorang Starla, itu hanya masalah waktu.
**
Rutinitasku
tergoncang. Guncangan yang menyenangkan. Sahabat lamaku, Rako, yang selama ini
bersekolah di Inggris, tiba-tiba muncul di kantor.
Rako
termasuk satu dari sedikit sahabatku di dunia ini. Kami berteman sejak kecil,
masuk sekolah Katolik yang sama dari TK sampai SMA. Selalu bersaing dalam
pelajaran, tetapi selalu kompak dalam segala perkara di luar itu. Terutama
masalah cinta. Tepatnya, akulah penolong setianya. Lebih tepatnya lagi, aku
penampung segala curhatannya.
Sore
itu, kami menyempatkan minum kopi, menyusun sekian banyak rencana demi
mengulang masa remaja dengan aset orang dewasa. Segala keterbatasan anak SMA,
mulai dari kocek sampai izin keluar malam, kini tak berlaku lagi. Kami
bersemangat seperti dua anak yang beru boleh pinjam mobil bapak. Boy’s talk.
Boy’s night out. Boys will be boys.
Namun
tak sampai setengah jam, pertanyaan itu terlontar juga.
“Pacar
lo siapa sekarang, Chris”
Pertanyaan
iblis. Iblis yang bersembunyi bagaikan selembar joker dalam tumpukan kartu.
Satu-satunya kartu yang menyambutmu dengan tawa lebar, tak jelas itu ekspresi
melucu atau melecehkan.
Aku
menggeleng.
“Payah
amat! Empat tahun gue pergi, kok lo nggak ada kemajuan juga?”
“Lo
sendiri gimana?” kutikung balik joker itu.
“Gue
mau cari cewek bule aja, Chris. Bertahun-tahun gaul sama cewek sini, jarang
banget ada yang cocok. Cewek-cewek sini tuh luarannya aja modern, dalamnya sih
sama aja. Konvensional. Belum apa-apa udah ngomongin kawinlah, tunanganlah,
padahal gue belum siap ke arah sana. Gue maunya traveling dulu, lihat
dunia dulu...”
Pintu
kafe tahu-tahu terbuka. Suara hak sepatu perempuan terdengar melangkah mantap.
Mataku mengamati sekeliling. Semua mata pria tersedot ke arah pintu. Pasti...
“Che!”
“Hai,
Starla. Sendirian?” sapaku sambil menghela napas panjang. Perasaanku tidak
enak. “Kenalin...”
“Rako”
Rako
sudah berdiri dan mengulurkan tangan tanpa diminta. Saat tangan mereka
bersalaman, mata mereka beradu, menyadari sesuatu. Musibah besar akan terjadi.
**
Keesokan harinya Rako menelponku, menghabiskan waktu makan siangku yang berharga dengan percakapan konyol mengenai Starla. Dia ingin mendengarkanku bercerita apa saja, bahkan asalusul gelang kecil di kaki Starla.
“Eh,
bri, rencana kita gimana? Weekend ini jadi diving ke Pulau
Seribu, kan?” tanyaku, berusaha membelokkan arah percakapan.
“Ditunda
dulu, deh. Gue keburu janjian sama Starla.”
Entah
bagaimana, saat aku tahi itu semua rencana kami bakal amblas. “Minggu depan?”
tanyaku lagi.
“Kita
lihat dulu, ya. Santai, Che. Gue kan sebulan di Jakarta.”
CHE!?
Starla keparat.
**
Intuisiku sungguh jitu. Minggu ketiga dari kunjungan sebulannya ke Jakarta, tak satupun rencana jalan-jalanku dengan Rako terwujud. Hari-harinya dipenuhi oleh Starla seorang.
“Che,
gue mau ngenalin Starla ke bokap-nyokap. Doain, ya.” Tuntut Rako suatu hari.
Matanya bersinar. Dan dia memanggilku “Che” dengan fasihnya, seolah sudah
melakukan puluhan tahun.
“Lo
yakin? Nggak kecepetan?”
“Starla
adalah perempuan yang selama ini gue cari. Lo tahu sendiri, gue gerah banget
sama yang namanya komitmen. Tapi dia... lain, Che.”
“Yah,
dia emang lain.” Celetukku getir “Starla Cuma hidup di hari ini. Nggak di hari
kemarin, dan nggak juga di hari esok. Jangan bikin rencana futuristis apapun
dengan Starla. Bahaya.”
Tapi
Rako tidak mau dengar. Todak pernah ada yang mau.
**
Kutatap Starla yang melambaikan tangan dari kejauhan. Terlintas analogiku tentang segelas air gula penutup ritual jamu pahit; keseimjbangan persahabatanku dengan Sdtarla. Baru kali ini aku berani mempertaruhkannya.
“Tumben,
Che. Kayaknya penting banget sampai ngajak ketemu segala.” Sambut Starla.
“Rako.”
Aku tidak basa-basi. “Jangan dia, Star.”
“Maksud
kamu?”
“Kita
tahu sama tahu modus operandi-mu. Nggak lama lagi, dia bakal ngajak kamu
serius. Dan segampang itu kamu bakal buang badan. Ya, kan?” tudingku. “Dia
sahabatku dari kecil. Aku kenal baik Rako, dan aku tahu sehancur apa dia nanti.
Please. Sudahi ini semua. Bilang aja terus terang kalo kamu nggak pernah
niat serius.”
“Siapa
bilang aku nggak serius?”
“Jadi
kamu bersiap berkomitmen sama dia?”
“Kenapa
serius harus dihubungkan dengan siap berkomitmen?”
“Udahlah,
Star!” desakku kesal. “Apa sih arti seorang Rako buat kamu? Cuma satu dari
seribu? Buat dia, kamu itu seribu satu. Ngerti? Sekali ini, nggak usahlah
ngasih harapan kosong lagi.”
Starla
menatapku tajam. “Jadi, selama ini kamu pikir aku ngasih harapan kosong ke
orang-orang? Aku nggak pernah ngasih apa-apa selain jdai diriku sendiri. Mereka
kepingin serius atau enggak, itu urusan mereka dan urusanku. Rako bukan anak
kecil, Che. Dia butuh supporter, bukan babysitter.”
“Kadang-kadang...
kamu itu...” gumamku, gusar dan gemas. Starla berganti pacar sama gampangnya
dengan ganti kaus kaki, dan ketika sahabat terdekatku teramcam menjadi kaus
kaki, dia membalikkannya seolah-olah aku ini si paranoid yang tidak setia
kawan.
“Kadanag-kadang
saya ini kenapa?” tantang Starla.
“Nggak
tahu diri.” Aku berbalik meninggalkannya.
**
Minggu terakhir Rako di Indonesia. Dan malam-malam buta di hari Minggu, Rako mendatangiku kalap seolah ingin menyelamatkanku dari bencana kebakaran yang tak ada.
“Gue
benar-benar nggak ngerti! Apa salah gue?” berondongnya.
Ternyarta
dialah yang sedang dirubung api dan dianggap apartemenku ini Dinas Pemadam
Kebakaran. Rako memang datang ke alamat yang tepat. Bagai cenayang yang
mendapatkan penampakan di bole kristal, aku melihat jelas drama di balik ini
semua.
“Pasti
ada sesuatu yang entah lo bilang atau lo kasih yang bikin dia merasa terikat.
Cincin? Lo mau menetap di Jakarta demi dia? Atau lo mau boyong dia ke Inggris?”
tanyaku.
“Tiga-tiganya
gue tawarin...” Rako tergagap.
“Fatal.”
Rako
menyeka keringat dingin di dahinya. “Jadi... oke, oke... gue bakal datengin dia
lagi, gue cabut semua yang gue bilang.”
“Terlambat.”
Aku menggeleng. “Sekali langkah salah itu diambil, dia nggak akan pernah mau
balik lagi.”
Rako
bengong sejenak. Lalu ia pun berseru, panik, “Bisa! Pasti bisa! Gue yakin! Gue
sama dia tuh udah cocok banget!”
Dengan
berat aku kembali menggeleng. Gatal lidahku ingin berkata: Anda sudah diberi
peringatan. Jangan bermain api. Starla itu C-4. Jangan karena sebutannya
“bomplastik: maka anda samakan dia dengan ember dan perabot plastik lainnya.
Selama
berhari-hari, aku menghibur sahabatku itu. Berusaha mengembalikkannya lagi pada
kenyataan yang ada, bahwa nasibnya adalah bagian dari siklus nasib “Layang-layang
Starla”. Rako tengah mengalami fase bernama “putus benang”. Satu-satunya solusi
adalah, dia harus mampu bangun dari ilusi keluar dari permainan. Kembali
memijak tanah, melupakan Starla.
Namun,
bicara memang gampang. Sementara cinta luar biasa kompleks. Rako tak sanggup
mengalahkan teori layang-layang. Ia memilih kembali ke Inggris. Dan kembali
memanggilku “Chris”.
Selama
ini, hanya orang-orang tak kukenal yang menjadi korban Starla. Tidak pernah
orang sedekat Rako. Untuk pertama kalinya aku mampu bersimpati, sekaligus
berlega hati karena aku tidak akan pernah mungkin mengalami itu semua.
**
Tak sampai seminggu dari tragedi Rako, teleponku kembali berdering, mengumandangkan suara Starla dengan intonasi cerita, seolah-olah tak pernah ada apa-apa.
“Che,
aku mau cerita. Jadi gini, aku lagi deket sama satu cowok...”
Ada
rasa muak yang tahu-tahu menyeruak.
“Sebelum
kamu cerita apa-apa, aku mau kasih tahu sesuatu,” potongku. “Mulai sekarang
nggak ada lagi nge-burn CD. Nggak ada lagi cerita layang-layang.”
“Layang-layang?”
“Urus diri kamu sendiri, Starla. Kamu butuh audiens, bukan teman.”
“Urus diri kamu sendiri, Starla. Kamu butuh audiens, bukan teman.”
Ada
hening yang menggerahkans ebelum telepon kami terputus. Starla yang menutup
duluan.
**
Sudah lebih dari sebulan. Sapaan “Selamat pagi” yang biasanya mengusikku di awal hari kini menghilang. Rupanya Starla memilih untuk tidak perang terbuka. Begitu juga aku. Kami saling menghindari seperti menjauhi wabah penyakit.
Hari-hariku
berjalan tanpa kejutan yang kerap dibuatnya. Pulang kantor, bergerak lamban
dalam arus macet Jakarta, sampai di apartemenku yang sepi, mandi, dan menonton
televisi, baca buku, lalu tertidur. Senyap. Lelap. Bunyi telepon.
Bunyi
telepon?
Aku
terlonjak kaget dari tidurku. Setengah satu malam?
“Halo?”
“Che...”
Starla.
Menangis. Kantukku seketika buyar. “Kamu kenapa? Ada di mana?”
“Di
apartemenku. Tolong jemput, ya. Sekarang... tolong...” pintanya diselingi isak.
“Aku
ke sana sekarang!” seruku, bergegas pergi.
Starla,
perempuan tertangguh yang pernah kutahu, menelponku ketakutan di tenah malam,
pasti ini kasus luar biasa.
Begitu
sampai, ku pencet bel sambil memanggil namanya. Pintu seketika terbuka. Starla
menghambur memelukku, menangis tersedu-sedu.
“Kamu
kenap?” tanyaku bingung.
“Tadi
Andi ke sini. Dia nyerang aku. Dia psikopat, Che.” Jelasnya di antara sedu sedan.
Nama
baru lagi. Aku menghela napas. “Kamu sudah lapor polisi?”
Starla
menggeleng. “Tadi aku lawan dia. Terus kdia kabur. Tapi aku nggak mau di sini
dulu. Aku takut.” Perempuan taangguh ini mendadak bagai kucing kecil yabg beru
tercebur ke kolam, meringkuk takk berdaya.
Aku
tak punya pilihan lain. Malam itu Starla menginap di apartemenku.
**
Dari kamar yang masih setengah terbukam kudengar Starla memanggil namaku. Terpaksa aku bangkit dari sofa tempatku mengungsi malam ini, menghampiri Starla yang masih meringkuk seperti anak kucing, tenggelam dalam piyamaku yang kebesaran, bergulung dengan selimut yang naik sampai leher.
“Kamu
aman di sini.” Kataku pelan.
“Aku
nggak bisa kayak begini lagi.” Bisiknya. “Aku capek, Che. Makin lama mereka
semua makin menyeramkan.”
Aku
tidak bisa menebak pasti siapa “mereka” yang ia maksud. Tapi aku cukup yakin
“mereka” itu berjenis kelamin laki-laki. Ingin kubilang, bahwa hadirnya manusia
psikopat hanyalah masalah waktu dalam semesta seorang Starla, sebagaimana aku
masih menanti permunculan atlet sepak takraw, ilusionis, atau pawang ular.
Namun, aku memilih diam dan menepuk-nepuk punggung tangannya.
Starla
tahu-tahu meraih tanganku ke dalam pelukannya. Memejamkan mata.
Entah
berapa lama aku duduk tegak di situ sementara Starla tertidur pulas, seolah
lenganku ini guling yang tak beraliran darah dan tak bakal semutan.
**
“Selamat pagi.” Suara Starla menyapaku lembut. Dengan manis, ia duduk di tepi sofa.
“Jam
berapa sekarang?” mataku memicing silau melihar sinar matahari yang masuk.
“Tujuh.”
Jaswabnya dengan senyum.
“JAM
TUJUH?” teriakkyu. Pantas matahari sudah ganas! Kalang kabut aku menyiapkan
baju dan lari ke kamar mandi. Starla sudah menyiapkan handuk, bahkan dia telah
menyalakan air.
“Coba
air dingin, pasti segar.” Ucapnya sambil berlalu.
Bodohnya
aku menurut saja. Tak lama kemudian, teriakan-teriakan primodial membahana dari
kamar mandi.
“Sarapan,
yuk!” terdengar lagi suara Starla yang sudah menunggu di dmeja makan.
Setibanya
aku di meja makan, mataku membelalak.
“Nasi
goreng? Aku biasa sarapan roti dua tangkup, yang sastu isinya...”
“Sudah,
ah. Sekali-sekali.” Potongnya tak sabar seraya menyendokkan nasi tanpa
kompromi.
Kupandangi
butir-butir nasi berkilau itu dengan enggan. Minyak di pagi hari. Bukan ide
yang iak. Ragu, aku mencoba sesendok. Ternyata enak.
“Kamu
kerja hari ini?” tanyaku.
Starla
menggeleng. “Aku mau di sini dulu. Rrasanya tenang banget. Boleh, kan?”
Ragu,
aku mengangguk.
Selesai
makan, aku berjalan ke pintu. Tidak mencabut kunci. Aku menoleh ke belakang.
Ada Starla berdiri dengan senyuman. Ini sungguh aneh, aku harus permisi pada
seseorang.
“Hati-hati.”
Ucapnya canggung. Hanya itu basa-basi yang terpikir.
**
Untuk menggenapi keganjilan hari ini, kuikuti usul sableng Starla untuk pulang lebih cepat. Dan anehnya lagi, aku merasa... senang. Senang berada di mobil sebelum waktunya. Senang berada di jalan sebelum jadwal orang bubar kantor. Saking senangnya, aku tak mendengarkan lagi kompilasiku. Aku hanya mengembudi, dan mengemudi.
Setibanya
di apartemen, semilir aroma cokelat meyerrgap penciumanku.
“Brownies
spesial untuk Che yang berani pulang cepat dari kantor!” samburt Starla dengan
seloyang brownies hangat.
“Kamu...
masak?” aku menganga.
“Ovenmu
terlalu mengilap, terpaksa deh kuperawanin,” jawabnya santai. “Kamu tahu apa
yang kurang di tempatmu ini?”
“Coffee
maker. Aku cek, kopimu instan semua. Payah,” dumelnya, seolah aku telah
melakukan dosa besar. “Brownies itu nggak nikmat kalau nggak ditemani
kopi,” sambungnya, “aku bikinin, ya?”
“Satu
kopi, dua gula, tiga krimer,” sahutku cepat.
“Kopi
banci. Yang enak itu; dua kopi, satu gula, nol krimer.”
Lagi-lagi,
aku menurut. Dan ternyata racikan Starla enak juga. Kuseruput kopiku lalu
melahap kue buatannya.
Sementara
itu, Starla mengamatiku seksama. Membuatku gerah. Wajahnya mendekat seperti
sedang mengobservasi kelamin seranggag.
“Kamu
bukan gay, kan?” tanyanya tiba-tiba. “Karena kalau iya, aku pasti sudah
tahu.”
“Kita
berteman empat tahun lebih, Starla. Keterlaluan kalau kamu masih nggak tahu
perferensi seksualku.”
“Empat
tahun lebih, tapi nggak pernah satu kali pun kamu kelihatan punya pacar. Mana
yang lebih keterlaluan?”
“Brownies
ini enak.”
“Kamu
tuh pintar, baik, karier bagus, tampang keren, tapi, kok?”
“Nggak
kepikir jualan kue aja, Star?”
“Come
on, Che. Apa yang kamu cari sih sebetulnya?”
Kali
ini kunyahanku berhenti. “Kriteriaku kompleks. Oke?” kutantang matanya dengan
harapan ia bakal gentar bertanya lebih lanjut.
“Apa
aja?” Starla malah semakin tertarik.
“Siapa
tahu aku bisa mencalonkan diri.”
Aku
tergelak, “Starla, kalau memang benar aku ini pintar, keren, dan apapun itu,
nggak bakal kamu nunggu empat tahun untuk mencalonkan diri, tauk!”
“Soalnya,
selama ini aku selalu yakin kamu nggak pernah mau sama aku.” Starla menjawab
tenang.
Gumpalan
brownies di tenggorokanku rasanya seperti tumbuh berduri. Belum pernah
aku sebegini gugup berada di dekat Starla. Dalan hati, aku berdoa agar hari ini
bisa kulewati dengan selamat.
**
Malam itu, apartemenku remang seperti bilik spa. Starla sebagaimana penata dekor menyalakan lilin-lilin wangi yang mengitari tempat duduk. Tirai jendela ia buka, agar lampu kota menggantikan kerlip bintang yang sudah jarang singgah di langit Jakarta, serta satu botol koleksi anggurku di buka agar sesi ngobrol ini mengalir lancar. Benar saja. Lewat dua gelas, isi pembicaraan makin ngalor-ngidul.
“Suatu
saat nanti, aku akan punya rumah sendiri, di atas gunung, “ tutur Starla sambil
memandangi refleksi cahaya yang membuat anggur putihnya tampak berbutir-bitur
emas. “Aku akan punya suami yang baik dan setia. Kami punya dua orang anak yang
lucu-lucu. Satu laki-laki, satu perempuan...”
Spontan,
tawaku menyembur. “Ternyata, di balik kecanggihanmu, mimpinya superstandar.
Tampilannya aja milenium, isinya Maemunah.”
“Masih
lebih bagus daripada manusia nggak punya mimpi kayak kamu.”
“Aku
punya mimpi!” balasku cepat. “Aku bakal jadi arsitek spesialis gedung pencakar
langit nomor satu di negeri ini. Nanti rumahku berhalaman luas, di pinggir
Jakarta, dan...” mataku memandang jauh ke tempat yang cuma aku tahu, “ada seorang
istri cantik yang jago masak. Anak kami laki-laki, cerdas, jago main game.
Istriku bawa sepiring kue buatan sendiri yang masih panas, memanggil-manggil
aku dan anakku yang keasyikkan main game...” ocehanku berhenti. Apa yang
baru saja kukatakan?
Starla
tersenyum lebar. “Tampilan Superman, isinya Suparman,” komentarnya.
Aku
melongos. “Setidaknya aku bisa menghargai perasaan orang.”
“Kamu
pikir aku nggak bisa?”
Sebelum
kuutarakan unek-unek yang sudah menahun bergantung di kepala, kutandaskan sisa
anggur di gelas. Biar nanti kujadikan fermentasi anggur kupas ini kambing hitam
yang merusak persahabatanku dengannya.
“Gini
analoginya. Aku suka lukisan. Tapi untuk punya satu, aku bakal berkunjung ke
puluhan galeri dulu, baru menentukan pilihan. Nah, kamu itu kolektor. Kamu
borong apa saja yang kira-kira bagus, tapi bukan untuk dimiliki. Kamu jual lagi
barang-barang berharga itu kayak dagang sembako.”
“Kamu
lagi ngomongin apa, sih, sebenarnya?”
“Aku
lagi bicara soal Rako, lalu si produser rekaman, si gitaris, kontraktor, foto
model, aktor senior, atlet basket, dosen, pengacara, pengusaha restoran, sampai
gay yang mau menjadi straight demi kamu. Mereka bertekuk lutut
demi kamu bawa pulang. Tapi semuanya lewat gitu aja kayak barang dagangan. Kamu
nggak mau memiliki dan dimiliki siapapun. Tapi kenapa terus-terusan mencari dan
menyakiti orang?” dadaku samar naik turun karena semua kalimat tadi
kuucapkan tanpa mengambil napas. Tinggal menunggu Starla menyemprot balik.
Namun
wajah cantik itu malah terlihat melunak. Pandangannya dibuang ke jendela. “Aku
juga bingung apa yang sebenarnya kucari,” jawabnya lirih, kemudian menoleh
kepadaku. “Yang jelas, aku nggak bisa kayak kamu. Bertahan dalam kesepian.”
Aku
nyaris keselak. “Kesepian? Hei...”
“Selama
ini kamu pikir apa artinya hidup kamu yang konstan kayak mesin pabrik? Lagu-lagu
pembangkit mood yang kamu racik kayak apoteker bikin obat? Kamu kesepian.”
Bukan
Cuma sembarangan, runutan logika manusia satu itu pun kacau. Apa kausalitasbya hidup
sistematis dan kesepian, coba? Tapi mulutku seperti dikunci.
Starla
dengan tenang melanjutkan, “Hidup kayak robot adalah satu-satunya cara yang
kamu tahu untuk melindungi dirimu dari sepi. Kamu takut sama spontanitas. Kamu takut
lepas kendali. Kamu ingin cinta, tapi takut jatuh cinta. But you know what?
Kadang-kadang kamu harus terjun dan jadi basah untuk tahu air, Che. Bukan Cuma nonton
di pinggir dan berharap kecipratan.”
Rahangku
terasa mengeras, susah payah menelan omongan itu. Lama aku diam. Otakku berpikir
dan berputar.
“Oke,
Miss Freud, saya juga punta analisis tentang kamu,” diafragmaku mengencang
mengambil ancang-ancang. “Selama ini, kamu mengisi kekosonganmu dengan sibuk
mengisi kekosongan orang lain. Saking kamu sibuk sendiri, mereka nggak pernah
diberi kesempatan memgisimu balik. Jadi wajar
aja kalu nggak satu pun dari mereka yang kurang. Tadinya saya pikir di dunia
ini nggak adil, Starla. Ternyata salah. Dunia ini adil. Cause you know what?
Kemana-mana kamu selalu keliatan berdua. Tapi sebenarnya kamu sendiri. Selalu sendiri.”
Kening
Starla berkerut mendengarnya.
“Nah,
kembali ke analogimu tentang air itu,” aku tersenyum, “kamu memang terjun ke
air. Tapi kamu pakai baju selam,” tandasku puas.
Sesuatu
menggugahnya. Ekspresi Starla mulai berubah. “Kamu benar, ternyata kita sama,
Che. Aku dan kamu sama-sama kesepian. Bedanya, aku mencari, kamu menunggu.”
Ucapnya lirih.
Tanganya
tiba-tiba meraih tanganku. Hangat, impuls listrik. Dari sana, yang terjadi
adalah reaksi kimia. Yang bahkan aku, atau Starla, tidak punya kendali lagi
atasnya.
**
Pagi ini adalah momen yang tidak pernah ada di kamusku.
“Ini
Sabtu atau Minggu, ya?” bisikku.
“Che?
Bisa lupa hari?” bisik Starla sambil tertawa pelan. “Sabtu. Kamu nanti malam
mingguan sama aku.”
Aku
duduk. Tubuhku merasa ringan, kepala terasa enteng. Sungguh sensasi yang asing.
Tak ada bunyi beker. Tidak ada iringan musik. Aku tak peduli soal sarapan. Aku tak
butuh itu semua. Ada seseorang di sebelahku. Dan sorot matanya lebih memukau
daripada matahari pukul lima-empat-lima.
**
Kupandangi Starla yang berkemas. Ingin rasanya menahan, tapi lidahku kelu. Aku jadi benci hari Senin. Terutama Senin hari ini.
Baru
selangkah kakinya melewati pintu keluar, Starla tahu-tahu berbalik. “Kamu
pernah ngomong soal layang-layang. Aku nggak pernah ngerti maksud kamu, tapi
nggak tahu kenapa, itu jadi membuatku berpikir,” ia menatapku dengan atapan
yang tak pernah kulihat sebelumnya. Lembut seperrti boneka panda. Tatapan orang
mabuk kepayang. “Aku ingin jadi layang-layang,” katanya mantap.
Aku
tercekat.
“Layang-layang
itu bebas di langit. Tapi tetap ada benang yang mengikatnya di bumi. Jangan lepasin
aku, Che.” Starla menghambur, mendekapku yang berdiri kaku. Lalu ia tersenyum
dan berjalan pergi. Mata itu berbinar.
Dan
aku tetap di tempatku. Ucapan Starla seperti palu yang jatuh dari langit dan
mendarat tepat di ubun-ubun. Telak. Mematikan.
**
Seharian aku tak berfungsi. Seharian aku merenung, menatap, dan bertanya, bagaimana mungkin aku lengah?
Empat
tahun menjadi saksi hidup permainan Starla ternyata tidak membuatku kebal. Dalam
satu akhir pekan, dia berhasil menembus ke dalam bentengku, mgnubah sarapanku,
mengacaukan suhu air mandiku, memancing keluar bocah lemah yang kesepian dari
alam bawah sadarku. Dengan kepiawayannya, Starla bisa berkata apa saja. Menjadi
siapa saja. Membuatku merasa akulah satu-satunya di dunia ini yang serasi
dengannya; kepingan terakhir yang ia cari untuk mengutuhkan hatinya. Dan yang
paling buruk dari itu semua adalah; dia berhasil membuatku jatuh cinta.
Rako
lebih beruntung. Dia perlu jatuh tanpa perlu mengantisipasi apa-apa. Sementara aku
disini aku memaki, berontak, melawan gravitasi, berteriak dalam sunyi; aku tidak
mau jadi layang-layang!
............
Bagi mereka yang terus mencari teman sehati
Lagi
dan lagi
Banyak
hati yang tersakiti
Bukan
kamu yang mencari, tapi dia yang ditinggali.
0 komentar:
Posting Komentar