Selasa, 21 Juli 2015

Selamat Mencari, Semoga [Lekas] Menemukan.

Selamat mencari, semoga lekas menemukan.

Menunggu Layang-layang [2010]
Di kutip dari buku Madre [Kumpulan Cerita] karya Dee.

Sebagaimana hari kemarin dan kemarinnya lagi, dan kemarinnya lagi, dan entah berapa banyak kemarin yang telah lewat, pukul 5.45 bekerku berdering. “Kring” bukan “bip-bip”. Bagiku, kebisingan suara beker klasik punya daya tembus lebih tajam ke alam bawah sadar. Bukan pukul 5.30 atau 6.00, tapi lima-empat-lima pas. Saat itu matahari benar-benar misterius. Pagi yang menyisakan sejumput malam sekaligus menjanjikan siang.
iPod-ku menyala, melantunkan daftar lagu yang kuberi judul: “Bangun Tidur Ku Terus Mandi”. Melalui serangkaian uji coba bertahun-tahun, kusimpulkan tujuh belas lagu yang paling pas didengar saat matahari sedang misterius-misteriusnya.
Tapi sebetulnya aku tidak langsung mandi. Yang pertama kulakukan adalah menenggak segelas air putih di sebelah tempat tidur, lalu menyiapkan secangkir kopi “1, 2, 3” yaitu satu sendok kopi, dua sendok gula, tiga sendok krimer. Cadangan energi sampai makan siang kudapat dari empat helai roti gandum utuh, sepasang pertama kuselipkan selembar keju, pasangan kedua kutemploki telur mata sapi mulus yang dimasak di microwave selama satu setengah menit.
Selesai sarapan, aku  mandi di bawah pancuran dengan keran air dingin terputar persis 80 derajat, sementara keran air panasnya 45 derajat. Ada potongan selofan merah sebagai penanda. Hasil uji coba panjang dengan beragam temperatur air dan posisi keran.
Selesai mandi, aku siap-siap mengenakan baju kantor dan semua perlengkapannya. Melaju di jalanan diiringi kompilasi yang kuberi judul: “Naik, Naik, je Puncak Gunung”, walau kantorku bukan di gunung. Isinya adalah lagu-lagu pembangkit semangat agar aku bisa tiba di kantor dengan berseri-seri, tersenyum dan menyapa semua orang, dari sat[am di gerbang denpan sampai ob yang datang ke ruanganku membawakan segelas besar air putih.
Berbarengan dengan datangnya air putih 700 mililiter itu, ponselku berbunyi.
“Selamat pagi”. Suara Starla yang khas menyapaku. Merdu, tapi mengganggu. Enak didengar, tapi selalu beruntut kurang enak. Berdasarkan statistikku, dia lebih sering menelpon untuk minta tolong. Sedikit mengenai Starla: aku dan dia berkenalan waktu masih baru sama-sama meniti karier. Aku seorang arsitek dan dia desainer interior, dan selama beberapa tahun kamu bekerja di biro konsultan yang sama. Kini kami sudah berbeda kantor. Starla menjadi feelancer, sedangkan aku dengan biro konsultanku sendiri. Kami bersahabat baik sejak hari pertamakami berkenalan. Sesuatu yang bisa dikategorikan sebagai mukjizat.
“Aku udah liat rumah sakitmu itu. Kamu banget. Kaku.” Demikian sapaan pertamanya. “Coba MRI, deh. Kayaknya otak kamu sekarang udah benar-benar persegi,” lanjutnya menggenapkan.
Aku tersenyum kecil. Bagiku itu sebuah pujian. Sudah menjadi keahlianku untuk mendesain bangunan masif seperti rumah sakit, gedung perkantoran, atau gedung pertokoan. Bertolak belakagn dengan Starla, aku merasa sangat tertantang untuk mengerjakan desain-desain raksasa yang menurutnya sangat membosankan.
“Kamu juga MRI, deh. Otakmu sekarang pasti udah ngga jelas kayak lukisan abstrak. Tinggal dibingkai terus dipajang di ruang tamu salah satu rumah tropis modern rancanganmu itu.”
Starla ngakak. “Satu-satunya yang bikin kamu masih hidup itu ya selera humormu, tauk.”
Aku menghela napas. “Oh, Starla. Jangan sampai aku balik mencari alasan kenapa kamu masih hidup, ya. Karena itu cuma sopir bajaj dan Tuhan yang tahu.”
Terdengar Starla terbahak lagi.
Begitulah kami. Hubunganku dengan Starla ibarat ritual minum jamu oah9t yang ditutup dengan segelas mungil air gula. Ketidakcocokan yang justru berujung pada persahabatan karib. Saking tahu betama ekstemnya perbedaan sifat dan selera masing-masing, kami tek mempermasalahkannya lagi, tinggal menertawakannya saja. Starla mengakui, aku adalah orang yang paling seing dia hubungi. Menghabiskan waktu dan pulasa untuk mendengarkan cerita-cerita Starla yang luar biasa, dan cerita-ceritaku yang begitu-begitu saja.
“Kompilasimu yang...hmmm...apa judulnya, ya? Yang buat di pantai...”
Starla tidak pernah ingat. “Yang buat siang, sore, malam?” potongku tidak sabar.
“Malam”
“Di Bawah Sinar Bulan Purnama.”
“Ya, itu. Minta tolong di-burn ke CD boleh, ya? Aku butuh buat weekend ini. Nanti aku ambil.”
“Oke. Bye!”
“Kenapa sih playlist­-mu namanya aneh-aneh? Untung ketolong selera musikmu.”
“Tujuannya supaya gampang diingat. Tapi ternyata beberapa orang tertentu tetap aja ngga ingat-ingat. Bye, Starla!”
“Nanti makan siang bareng ya, Che.”
“Kapan sih kamu bakal berhenti manggil aku ‘Che’?”
“Nggak tahu, Che. Kayaknya nggak ada rencana berhenti, sih. Bye!”
Telepon menutup di ujung sana. Kenapa jadi dia yang duluan? Sialan.
Namaku Christian. Dan Starla hanya mau berhenti dampai huruf pertamanya saja.

**

Kuperhatikan pelayan restoran yang melayani meja kami. Memastikan bahwa ia benar-benar siap mencatat. Aku berdehem. “Satu dori steak, light oil, saus lemon-nya terpisah. Salad-nya pkai vinaigrette. Baked potato, tanpa topping. Minumnya satu botol  perrier, still, suhu ruangan.”
Pelayan itu sibuk mencatat. Setelah itu ia beralih pada Starla.
“Saya minta es teh tawar, makanannya...” sekilas Starla melirik menu Today’s Special yang diletakkan di meja, “ini, deh.”
Starla kemudia permisi cuci tangan. Begitu ia berdiri, mataku memandang berkeliling. Selalu sama. Setiap mata laki-laki terpusat padanya. Banyak perempuan cantik di belantara Jakarta ini, tapi rasanya tidak ada yang memiliki efek penghisap perhatian sepertiStarla. Jangan bayangkan Starla itu berbusana serba mikro dengan tonjolan atau belahan di sana sini. Dandanannya bukan pemompa testosteron. Jadi apa penyebabnya? Hipotesisku: karena Starla tidak peduli. Ia melenggang seolah ia sendirian di muka Bumi. Ia tidak peduli kecantikannya, dan ketidak-pedulian itu seolah menjadi mesin pembangkit pesona. Barangkali.
Sekembalinya Starla, CD yang ia minta sudah kuletakkan manis di atas meja. Plus, sebuah pertanyaan klasik: “Jadi, siapa laki-laki sial itu?”
Starla tersenyum. “Dia kontraktor, lagi ada proyek hotel di daerah Carita. Aku ikut nemenin.”
“Lagu-lagu ini memang paling cocok didengar di teras vila, menghadap pantai. Sekarang pas bulan purnama pula. Good timing, Starla. Hebat.”
Starla hanya mengangkat alis, dan menyeruput tehnya.
“Kamu, kok, kayaknya nggak terlalu semangat.”
“Perasaanku nggak enak. Kayaknya dia bakal sama dengan yang lain-lain.”
“Nggak usah pergilah.”
“Udah kepalang janji.”
“Tenang aja, kamukan pasti udah punya SOP-nya. “
Starla menggelang. “Biar ending-nya sama, respon mereka berbeda-beda. Ada yang gantleman, ada yang ngambek terus banting-banting barang. Aku nggak pernah tahu pasti, Che. Nggak ada SOP untuk menghadapi yang beginian.”
“Dan kamu tetep aja nggak kapok-kapok.”
Posisi duduk Starla langsung menegak. “Kami dua orang dewasa yang bisa tanggung jawab atas keputusan masing-masing, oke? Apa salahnya saling suka, jatuh cinta, mencoba-coba? Semua yang di dunia ini juga dilewati pakai proses itu. Mau pilih mobil kek, mau pilih baju...”
“Kalau kita tahu pasti apa yang kita mau, ngapain buang energi buat coba-coba? Masalahnya, kamu ngga pernah tahu apa yang kamu mau.”
Starla kelihatan sudah ingin balas menyambar. Tapi ia tahan. Kami berdua tahu, pembahasan ini tidak akan ada ujungnya. Dan persahabatan kami ini lebih berharga dari sekedar mempertengkarkan prinsip yang sudah jelas-jelas beda. Kami pun diam dan mulai makan.”
“Kalau ada apa-apa, telpon ya.”
Starla mengangguk.
Kami tahu, tidak akan terjadi apa-apa. Apapun badai yang dihadapinya, Starla selalu kembali dengan utuh tanpa goresan.
**
Malam minggu ini aku ketemu Starla di bioskop. Tentu, aku bukan janjian nonton dengannya. Kebetulan saja ini bioskop favorit kami berdua, tempat yang menjadi saksi bisu kesendirianku serta kebersamaan Starla bersama aneka manusia berjenis kelamin pria dengan beragam bentuk dan profesi. Ia mengantre percis di belakangku, menggandenga seorang cowok ganteng yang berpenampilan rapi.
“Studio 1. Nomor...”
“A1!” celetuk Starla dari balik bahuku.
“Makasih,” gumamku masam. Apa mau dikata. Dia hafal kebiasaanku nonton sendirian di pojok bioskop.
Mereka juga menonton film sama. Aku berkenalan dengan pria dandy itu, yang dari kartu namanya, aku tahu ia bekerja di sebuah perusahaan rekaman. Sembunyi-sembunyi, aku mengacungkan salam tiga jari alias salam metal pada Starla.
Mata Starla langsung melotot. Kepalanya menggeleng.
“Ini bukan gitaris band heavy metal yang kamu ceritain itu? Pantesan, kok, malah kayak anggota boy band.”
“Ini produsernya.” Starla balas berbisik.
“Naik ranjang kamu? Ngga sopan,” aku terkekeh.
“Habis yang gitaris itu mulai aneh-aneh. Habis, belum apa-apa tuh cowok udah mau pindah ke apartemenku.”
“Langkah fatal,” aku manggut-manggut setuju. “Kalau yang ini gelagatnya gimana?”
“Sejauh ini oke. Kita lihat nanti.”
Dalam semesta seorang Starla, “nanti” adalah rentang waktu yang pendek. Tak sampai sebulan dari sekarang, di tempat sama, aku beranii taruhan sepuluh kilogram fillet ikan dori, bahwa dia akan menonton film dengan jenis pria lain. Dan masih kunantikan pemunculan atlet sepak takraw, ilusionos, atau pawang ular. Dalam semesta seorang Starla, itu hanya masalah waktu.
**
Rutinitasku tergoncang. Guncangan yang menyenangkan. Sahabat lamaku, Rako, yang selama ini bersekolah di Inggris, tiba-tiba muncul di kantor.
Rako termasuk satu dari sedikit sahabatku di dunia ini. Kami berteman sejak kecil, masuk sekolah Katolik yang sama dari TK sampai SMA. Selalu bersaing dalam pelajaran, tetapi selalu kompak dalam segala perkara di luar itu. Terutama masalah cinta. Tepatnya, akulah penolong setianya. Lebih tepatnya lagi, aku penampung segala curhatannya.
Sore itu, kami menyempatkan minum kopi, menyusun sekian banyak rencana demi mengulang masa remaja dengan aset orang dewasa. Segala keterbatasan anak SMA, mulai dari kocek sampai izin keluar malam, kini tak berlaku lagi. Kami bersemangat seperti dua anak yang beru boleh pinjam mobil bapak. Boy’s talk. Boy’s night out. Boys will be boys.
Namun tak sampai setengah jam, pertanyaan itu terlontar juga.
“Pacar lo siapa sekarang, Chris”
Pertanyaan iblis. Iblis yang bersembunyi bagaikan selembar joker dalam tumpukan kartu. Satu-satunya kartu yang menyambutmu dengan tawa lebar, tak jelas itu ekspresi melucu atau melecehkan.
Aku menggeleng.
“Payah amat! Empat tahun gue pergi, kok lo nggak ada kemajuan juga?”
“Lo sendiri gimana?” kutikung balik joker itu.
“Gue mau cari cewek bule aja, Chris. Bertahun-tahun gaul sama cewek sini, jarang banget ada yang cocok. Cewek-cewek sini tuh luarannya aja modern, dalamnya sih sama aja. Konvensional. Belum apa-apa udah ngomongin kawinlah, tunanganlah, padahal gue belum siap ke arah sana. Gue maunya traveling dulu, lihat dunia dulu...”
Pintu kafe tahu-tahu terbuka. Suara hak sepatu perempuan terdengar melangkah mantap. Mataku mengamati sekeliling. Semua mata pria tersedot ke arah pintu. Pasti...
“Che!”
“Hai, Starla. Sendirian?” sapaku sambil menghela napas panjang. Perasaanku tidak enak. “Kenalin...”
“Rako”
Rako sudah berdiri dan mengulurkan tangan tanpa diminta. Saat tangan mereka bersalaman, mata mereka beradu, menyadari sesuatu. Musibah besar akan terjadi.

**

Keesokan harinya Rako menelponku, menghabiskan waktu makan siangku yang berharga dengan percakapan konyol mengenai Starla. Dia ingin mendengarkanku bercerita apa saja, bahkan asalusul gelang kecil di kaki Starla.
“Eh, bri, rencana kita gimana? Weekend ini jadi diving ke Pulau Seribu, kan?” tanyaku, berusaha membelokkan arah percakapan.
“Ditunda dulu, deh. Gue keburu janjian sama Starla.”
Entah bagaimana, saat aku tahi itu semua rencana kami bakal amblas. “Minggu depan?” tanyaku lagi.
“Kita lihat dulu, ya. Santai, Che. Gue kan sebulan di Jakarta.”
CHE!? Starla keparat.

**

Intuisiku sungguh jitu. Minggu ketiga dari kunjungan sebulannya ke Jakarta, tak satupun rencana jalan-jalanku dengan Rako terwujud. Hari-harinya dipenuhi oleh Starla seorang.
“Che, gue mau ngenalin Starla ke bokap-nyokap. Doain, ya.” Tuntut Rako suatu hari. Matanya bersinar. Dan dia memanggilku “Che” dengan fasihnya, seolah sudah melakukan puluhan tahun.
“Lo yakin? Nggak kecepetan?”
“Starla adalah perempuan yang selama ini gue cari. Lo tahu sendiri, gue gerah banget sama yang namanya komitmen. Tapi dia... lain, Che.”
“Yah, dia emang lain.” Celetukku getir “Starla Cuma hidup di hari ini. Nggak di hari kemarin, dan nggak juga di hari esok. Jangan bikin rencana futuristis apapun dengan Starla. Bahaya.”
Tapi Rako tidak mau dengar. Todak pernah ada yang mau.

**

Kutatap Starla yang melambaikan tangan dari kejauhan. Terlintas analogiku tentang segelas air gula penutup ritual jamu pahit; keseimjbangan persahabatanku dengan Sdtarla. Baru kali ini aku berani mempertaruhkannya.
“Tumben, Che. Kayaknya penting banget sampai ngajak ketemu segala.” Sambut Starla.
“Rako.” Aku tidak basa-basi. “Jangan dia, Star.”
“Maksud kamu?”
“Kita tahu sama tahu modus operandi-mu. Nggak lama lagi, dia bakal ngajak kamu serius. Dan segampang itu kamu bakal buang badan. Ya, kan?” tudingku. “Dia sahabatku dari kecil. Aku kenal baik Rako, dan aku tahu sehancur apa dia nanti. Please. Sudahi ini semua. Bilang aja terus terang kalo kamu nggak pernah niat serius.”
“Siapa bilang aku nggak serius?”
“Jadi kamu bersiap berkomitmen sama dia?”
“Kenapa serius harus dihubungkan dengan siap berkomitmen?”
“Udahlah, Star!” desakku kesal. “Apa sih arti seorang Rako buat kamu? Cuma satu dari seribu? Buat dia, kamu itu seribu satu. Ngerti? Sekali ini, nggak usahlah ngasih harapan kosong lagi.”
Starla menatapku tajam. “Jadi, selama ini kamu pikir aku ngasih harapan kosong ke orang-orang? Aku nggak pernah ngasih apa-apa selain jdai diriku sendiri. Mereka kepingin serius atau enggak, itu urusan mereka dan urusanku. Rako bukan anak kecil, Che. Dia butuh supporter, bukan babysitter.”
“Kadang-kadang... kamu itu...” gumamku, gusar dan gemas. Starla berganti pacar sama gampangnya dengan ganti kaus kaki, dan ketika sahabat terdekatku teramcam menjadi kaus kaki, dia membalikkannya seolah-olah aku ini si paranoid yang tidak setia kawan.
“Kadanag-kadang saya ini kenapa?” tantang Starla.
“Nggak tahu diri.” Aku berbalik meninggalkannya.

**

Minggu terakhir Rako di Indonesia. Dan malam-malam buta di hari Minggu, Rako mendatangiku kalap seolah ingin menyelamatkanku dari bencana kebakaran yang tak ada.
“Gue benar-benar nggak ngerti! Apa salah gue?” berondongnya.
Ternyarta dialah yang sedang dirubung api dan dianggap apartemenku ini Dinas Pemadam Kebakaran. Rako memang datang ke alamat yang tepat. Bagai cenayang yang mendapatkan penampakan di bole kristal, aku melihat jelas drama di balik ini semua.
“Pasti ada sesuatu yang entah lo bilang atau lo kasih yang bikin dia merasa terikat. Cincin? Lo mau menetap di Jakarta demi dia? Atau lo mau boyong dia ke Inggris?” tanyaku.
“Tiga-tiganya gue tawarin...” Rako tergagap.
“Fatal.”
Rako menyeka keringat dingin di dahinya. “Jadi... oke, oke... gue bakal datengin dia lagi, gue cabut semua yang gue bilang.”
“Terlambat.” Aku menggeleng. “Sekali langkah salah itu diambil, dia nggak akan pernah mau balik lagi.”
Rako bengong sejenak. Lalu ia pun berseru, panik, “Bisa! Pasti bisa! Gue yakin! Gue sama dia tuh udah cocok banget!”
Dengan berat aku kembali menggeleng. Gatal lidahku ingin berkata: Anda sudah diberi peringatan. Jangan bermain api. Starla itu C-4. Jangan karena sebutannya “bomplastik: maka anda samakan dia dengan ember dan perabot plastik lainnya.
Selama berhari-hari, aku menghibur sahabatku itu. Berusaha mengembalikkannya lagi pada kenyataan yang ada, bahwa nasibnya adalah bagian dari siklus nasib “Layang-layang Starla”. Rako tengah mengalami fase bernama “putus benang”. Satu-satunya solusi adalah, dia harus mampu bangun dari ilusi keluar dari permainan. Kembali memijak tanah, melupakan Starla.
Namun, bicara memang gampang. Sementara cinta luar biasa kompleks. Rako tak sanggup mengalahkan teori layang-layang. Ia memilih kembali ke Inggris. Dan kembali memanggilku “Chris”.
Selama ini, hanya orang-orang tak kukenal yang menjadi korban Starla. Tidak pernah orang sedekat Rako. Untuk pertama kalinya aku mampu bersimpati, sekaligus berlega hati karena aku tidak akan pernah mungkin mengalami itu semua.

**

Tak sampai seminggu dari tragedi Rako, teleponku kembali berdering, mengumandangkan suara Starla dengan intonasi cerita, seolah-olah tak pernah ada apa-apa.
“Che, aku mau cerita. Jadi gini, aku lagi deket sama satu cowok...”
Ada rasa muak yang tahu-tahu menyeruak.
“Sebelum kamu cerita apa-apa, aku mau kasih tahu sesuatu,” potongku. “Mulai sekarang nggak ada lagi nge-burn CD. Nggak ada lagi cerita layang-layang.”
“Layang-layang?”
“Urus diri kamu sendiri, Starla. Kamu butuh audiens, bukan teman.”
Ada hening yang menggerahkans ebelum telepon kami terputus. Starla yang menutup duluan.

**

Sudah lebih dari sebulan. Sapaan “Selamat pagi” yang biasanya mengusikku di awal hari kini menghilang. Rupanya Starla memilih untuk tidak perang terbuka. Begitu juga aku. Kami saling menghindari seperti menjauhi wabah penyakit.
Hari-hariku berjalan tanpa kejutan yang kerap dibuatnya. Pulang kantor, bergerak lamban dalam arus macet Jakarta, sampai di apartemenku yang sepi, mandi, dan menonton televisi, baca buku, lalu tertidur. Senyap. Lelap. Bunyi telepon.
Bunyi telepon?
Aku terlonjak kaget dari tidurku. Setengah satu malam?
“Halo?”
“Che...”
Starla. Menangis. Kantukku seketika buyar. “Kamu kenapa? Ada di mana?”
“Di apartemenku. Tolong jemput, ya. Sekarang... tolong...” pintanya diselingi isak.
“Aku ke sana sekarang!” seruku, bergegas pergi.
Starla, perempuan tertangguh yang pernah kutahu, menelponku ketakutan di tenah malam, pasti ini kasus luar biasa.
Begitu sampai, ku pencet bel sambil memanggil namanya. Pintu seketika terbuka. Starla menghambur memelukku, menangis tersedu-sedu.
“Kamu kenap?” tanyaku bingung.
“Tadi Andi ke sini. Dia nyerang aku. Dia psikopat, Che.” Jelasnya di antara sedu sedan.
Nama baru lagi. Aku menghela napas. “Kamu sudah lapor polisi?”
Starla menggeleng. “Tadi aku lawan dia. Terus kdia kabur. Tapi aku nggak mau di sini dulu. Aku takut.” Perempuan taangguh ini mendadak bagai kucing kecil yabg beru tercebur ke kolam, meringkuk takk berdaya.
Aku tak punya pilihan lain. Malam itu Starla menginap di apartemenku.

**

Dari kamar yang masih setengah terbukam kudengar Starla memanggil namaku. Terpaksa aku bangkit dari sofa tempatku mengungsi malam ini, menghampiri Starla yang masih meringkuk seperti anak kucing, tenggelam dalam piyamaku yang kebesaran, bergulung dengan selimut yang naik sampai leher.
“Kamu aman di sini.” Kataku pelan.
“Aku nggak bisa kayak begini lagi.” Bisiknya. “Aku capek, Che. Makin lama mereka semua makin menyeramkan.”
Aku tidak bisa menebak pasti siapa “mereka” yang ia maksud. Tapi aku cukup yakin “mereka” itu berjenis kelamin laki-laki. Ingin kubilang, bahwa hadirnya manusia psikopat hanyalah masalah waktu dalam semesta seorang Starla, sebagaimana aku masih menanti permunculan atlet sepak takraw, ilusionis, atau pawang ular. Namun, aku memilih diam dan menepuk-nepuk punggung tangannya.
Starla tahu-tahu meraih tanganku ke dalam pelukannya. Memejamkan mata.
Entah berapa lama aku duduk tegak di situ sementara Starla tertidur pulas, seolah lenganku ini guling yang tak beraliran darah dan tak bakal semutan.

**

“Selamat pagi.” Suara Starla menyapaku lembut. Dengan manis, ia duduk di tepi sofa.
“Jam berapa sekarang?” mataku memicing silau melihar sinar matahari yang masuk.
“Tujuh.” Jaswabnya dengan senyum.
“JAM TUJUH?” teriakkyu. Pantas matahari sudah ganas! Kalang kabut aku menyiapkan baju dan lari ke kamar mandi. Starla sudah menyiapkan handuk, bahkan dia telah menyalakan air.
“Coba air dingin, pasti segar.” Ucapnya sambil berlalu.
Bodohnya aku menurut saja. Tak lama kemudian, teriakan-teriakan primodial membahana dari kamar mandi.
“Sarapan, yuk!” terdengar lagi suara Starla yang sudah menunggu di dmeja makan.
Setibanya aku di meja makan, mataku membelalak.
“Nasi goreng? Aku biasa sarapan roti dua tangkup, yang sastu isinya...”
“Sudah, ah. Sekali-sekali.” Potongnya tak sabar seraya menyendokkan nasi tanpa kompromi.
Kupandangi butir-butir nasi berkilau itu dengan enggan. Minyak di pagi hari. Bukan ide yang iak. Ragu, aku mencoba sesendok. Ternyata enak.
“Kamu kerja hari ini?” tanyaku.
Starla menggeleng. “Aku mau di sini dulu. Rrasanya tenang banget. Boleh, kan?”
Ragu, aku mengangguk.
Selesai makan, aku berjalan ke pintu. Tidak mencabut kunci. Aku menoleh ke belakang. Ada Starla berdiri dengan senyuman. Ini sungguh aneh, aku harus permisi pada seseorang.
“Hati-hati.” Ucapnya canggung. Hanya itu basa-basi yang terpikir.

**

Untuk menggenapi keganjilan hari ini, kuikuti usul sableng Starla untuk pulang lebih cepat. Dan anehnya lagi, aku merasa... senang. Senang berada di mobil sebelum waktunya. Senang berada di jalan sebelum jadwal orang bubar kantor. Saking senangnya, aku tak mendengarkan lagi kompilasiku. Aku hanya mengembudi, dan mengemudi.
Setibanya di apartemen, semilir aroma cokelat meyerrgap penciumanku.
Brownies spesial untuk Che yang berani pulang cepat dari kantor!” samburt Starla dengan seloyang brownies hangat.
“Kamu... masak?” aku menganga.
“Ovenmu terlalu mengilap, terpaksa deh kuperawanin,” jawabnya santai. “Kamu tahu apa yang kurang di tempatmu ini?”
Coffee maker. Aku cek, kopimu instan semua. Payah,” dumelnya, seolah aku telah melakukan dosa besar. “Brownies itu nggak nikmat kalau nggak ditemani kopi,” sambungnya, “aku bikinin, ya?”
“Satu kopi, dua gula, tiga krimer,” sahutku cepat.
“Kopi banci. Yang enak itu; dua kopi, satu gula, nol krimer.”
Lagi-lagi, aku menurut. Dan ternyata racikan Starla enak juga. Kuseruput kopiku lalu melahap kue buatannya.
Sementara itu, Starla mengamatiku seksama. Membuatku gerah. Wajahnya mendekat seperti sedang mengobservasi kelamin seranggag.
“Kamu bukan gay, kan?” tanyanya tiba-tiba. “Karena kalau iya, aku pasti sudah tahu.”
“Kita berteman empat tahun lebih, Starla. Keterlaluan kalau kamu masih nggak tahu perferensi seksualku.”
“Empat tahun lebih, tapi nggak pernah satu kali pun kamu kelihatan punya pacar. Mana yang lebih keterlaluan?”
Brownies ini enak.”
“Kamu tuh pintar, baik, karier bagus, tampang keren, tapi, kok?”
“Nggak kepikir jualan kue aja, Star?”
Come on, Che. Apa yang kamu cari sih sebetulnya?”
Kali ini kunyahanku berhenti. “Kriteriaku kompleks. Oke?” kutantang matanya dengan harapan ia bakal gentar bertanya lebih lanjut.
“Apa aja?” Starla malah semakin tertarik.
“Siapa tahu aku bisa mencalonkan diri.”
Aku tergelak, “Starla, kalau memang benar aku ini pintar, keren, dan apapun itu, nggak bakal kamu nunggu empat tahun untuk mencalonkan diri, tauk!”
“Soalnya, selama ini aku selalu yakin kamu nggak pernah mau sama aku.” Starla menjawab tenang.
Gumpalan brownies di tenggorokanku rasanya seperti tumbuh berduri. Belum pernah aku sebegini gugup berada di dekat Starla. Dalan hati, aku berdoa agar hari ini bisa kulewati dengan selamat.

**

Malam itu, apartemenku remang seperti bilik spa. Starla sebagaimana penata dekor menyalakan lilin-lilin wangi yang mengitari tempat duduk. Tirai jendela ia buka, agar lampu kota menggantikan kerlip bintang yang sudah jarang singgah di langit Jakarta, serta satu botol koleksi anggurku di buka agar sesi ngobrol ini mengalir lancar. Benar saja. Lewat dua gelas, isi pembicaraan makin ngalor-ngidul.
“Suatu saat nanti, aku akan punya rumah sendiri, di atas gunung, “ tutur Starla sambil memandangi refleksi cahaya yang membuat anggur putihnya tampak berbutir-bitur emas. “Aku akan punya suami yang baik dan setia. Kami punya dua orang anak yang lucu-lucu. Satu laki-laki, satu perempuan...”
Spontan, tawaku menyembur. “Ternyata, di balik kecanggihanmu, mimpinya superstandar. Tampilannya aja milenium, isinya Maemunah.”
“Masih lebih bagus daripada manusia nggak punya mimpi kayak kamu.”
“Aku punya mimpi!” balasku cepat. “Aku bakal jadi arsitek spesialis gedung pencakar langit nomor satu di negeri ini. Nanti rumahku berhalaman luas, di pinggir Jakarta, dan...” mataku memandang jauh ke tempat yang cuma aku tahu, “ada seorang istri cantik yang jago masak. Anak kami laki-laki, cerdas, jago main game. Istriku bawa sepiring kue buatan sendiri yang masih panas, memanggil-manggil aku dan anakku yang keasyikkan main game...” ocehanku berhenti. Apa yang baru saja kukatakan?
Starla tersenyum lebar. “Tampilan Superman, isinya Suparman,” komentarnya.
Aku melongos. “Setidaknya aku bisa menghargai perasaan orang.”
“Kamu pikir aku nggak bisa?”
Sebelum kuutarakan unek-unek yang sudah menahun bergantung di kepala, kutandaskan sisa anggur di gelas. Biar nanti kujadikan fermentasi anggur kupas ini kambing hitam yang merusak persahabatanku dengannya.
“Gini analoginya. Aku suka lukisan. Tapi untuk punya satu, aku bakal berkunjung ke puluhan galeri dulu, baru menentukan pilihan. Nah, kamu itu kolektor. Kamu borong apa saja yang kira-kira bagus, tapi bukan untuk dimiliki. Kamu jual lagi barang-barang berharga itu kayak dagang sembako.”
“Kamu lagi ngomongin apa, sih, sebenarnya?”
“Aku lagi bicara soal Rako, lalu si produser rekaman, si gitaris, kontraktor, foto model, aktor senior, atlet basket, dosen, pengacara, pengusaha restoran, sampai gay yang mau menjadi straight demi kamu. Mereka bertekuk lutut demi kamu bawa pulang. Tapi semuanya lewat gitu aja kayak barang dagangan. Kamu nggak mau memiliki dan dimiliki siapapun. Tapi kenapa terus-terusan mencari dan menyakiti orang?” dadaku samar naik turun karena semua kalimat tadi kuucapkan tanpa mengambil napas. Tinggal menunggu Starla menyemprot balik.
Namun wajah cantik itu malah terlihat melunak. Pandangannya dibuang ke jendela. “Aku juga bingung apa yang sebenarnya kucari,” jawabnya lirih, kemudian menoleh kepadaku. “Yang jelas, aku nggak bisa kayak kamu. Bertahan dalam kesepian.”
Aku nyaris keselak. “Kesepian? Hei...”
“Selama ini kamu pikir apa artinya hidup kamu yang konstan kayak mesin pabrik? Lagu-lagu pembangkit mood yang kamu racik kayak apoteker bikin obat? Kamu kesepian.”
Bukan Cuma sembarangan, runutan logika manusia satu itu pun kacau. Apa kausalitasbya hidup sistematis dan kesepian, coba? Tapi mulutku seperti dikunci.
Starla dengan tenang melanjutkan, “Hidup kayak robot adalah satu-satunya cara yang kamu tahu untuk melindungi dirimu dari sepi. Kamu takut sama spontanitas. Kamu takut lepas kendali. Kamu ingin cinta, tapi takut jatuh cinta. But you know what? Kadang-kadang kamu harus terjun dan jadi basah untuk tahu air, Che. Bukan Cuma nonton di pinggir dan berharap kecipratan.”
Rahangku terasa mengeras, susah payah menelan omongan itu. Lama aku diam. Otakku berpikir dan berputar.
“Oke, Miss Freud, saya juga punta analisis tentang kamu,” diafragmaku mengencang mengambil ancang-ancang. “Selama ini, kamu mengisi kekosonganmu dengan sibuk mengisi kekosongan orang lain. Saking kamu sibuk sendiri, mereka nggak pernah diberi kesempatan memgisimu  balik. Jadi wajar aja kalu nggak satu pun dari mereka yang kurang. Tadinya saya pikir di dunia ini nggak adil, Starla. Ternyata salah. Dunia ini adil. Cause you know what? Kemana-mana kamu selalu keliatan berdua. Tapi sebenarnya kamu sendiri. Selalu sendiri.”
Kening Starla berkerut mendengarnya.
“Nah, kembali ke analogimu tentang air itu,” aku tersenyum, “kamu memang terjun ke air. Tapi kamu pakai baju selam,” tandasku puas.
Sesuatu menggugahnya. Ekspresi Starla mulai berubah. “Kamu benar, ternyata kita sama, Che. Aku dan kamu sama-sama kesepian. Bedanya, aku mencari, kamu menunggu.” Ucapnya lirih.
Tanganya tiba-tiba meraih tanganku. Hangat, impuls listrik. Dari sana, yang terjadi adalah reaksi kimia. Yang bahkan aku, atau Starla, tidak punya kendali lagi atasnya.

**

Pagi ini adalah momen yang tidak pernah ada di kamusku.
“Ini Sabtu atau Minggu, ya?” bisikku.
“Che? Bisa lupa hari?” bisik Starla sambil tertawa pelan. “Sabtu. Kamu nanti malam mingguan sama aku.”
Aku duduk. Tubuhku merasa ringan, kepala terasa enteng. Sungguh sensasi yang asing. Tak ada bunyi beker. Tidak ada iringan musik. Aku tak peduli soal sarapan. Aku tak butuh itu semua. Ada seseorang di sebelahku. Dan sorot matanya lebih memukau daripada matahari pukul lima-empat-lima.

**

Kupandangi Starla yang berkemas. Ingin rasanya menahan, tapi lidahku kelu. Aku jadi benci hari Senin. Terutama Senin hari ini.
Baru selangkah kakinya melewati pintu keluar, Starla tahu-tahu berbalik. “Kamu pernah ngomong soal layang-layang. Aku nggak pernah ngerti maksud kamu, tapi nggak tahu kenapa, itu jadi membuatku berpikir,” ia menatapku dengan atapan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Lembut seperrti boneka panda. Tatapan orang mabuk kepayang. “Aku ingin jadi layang-layang,” katanya mantap.
Aku tercekat.
“Layang-layang itu bebas di langit. Tapi tetap ada benang yang mengikatnya di bumi. Jangan lepasin aku, Che.” Starla menghambur, mendekapku yang berdiri kaku. Lalu ia tersenyum dan berjalan pergi. Mata itu berbinar.
Dan aku tetap di tempatku. Ucapan Starla seperti palu yang jatuh dari langit dan mendarat tepat di ubun-ubun. Telak. Mematikan.

**

Seharian aku tak berfungsi. Seharian aku merenung, menatap, dan bertanya, bagaimana mungkin aku lengah?
Empat tahun menjadi saksi hidup permainan Starla ternyata tidak membuatku kebal. Dalam satu akhir pekan, dia berhasil menembus ke dalam bentengku, mgnubah sarapanku, mengacaukan suhu air mandiku, memancing keluar bocah lemah yang kesepian dari alam bawah sadarku. Dengan kepiawayannya, Starla bisa berkata apa saja. Menjadi siapa saja. Membuatku merasa akulah satu-satunya di dunia ini yang serasi dengannya; kepingan terakhir yang ia cari untuk mengutuhkan hatinya. Dan yang paling buruk dari itu semua adalah; dia berhasil membuatku jatuh cinta.
Rako lebih beruntung. Dia perlu jatuh tanpa perlu mengantisipasi apa-apa. Sementara aku disini aku memaki, berontak, melawan gravitasi, berteriak dalam sunyi; aku tidak mau jadi layang-layang!
............

Bagi mereka yang terus mencari teman sehati
Lagi dan lagi
Banyak hati yang tersakiti
Bukan kamu yang mencari, tapi dia yang ditinggali.

0 komentar:

Posting Komentar