Pagi itu….
Saat pertama kali aku bertemu dengan Ibumu, mencium tangannya yang sekuat baja. Ingin rasanya aku
meneriakkan sesuatu ditelinganya.
“Ibu…..
Meskipun
ini kali pertama kita bertemu, tapi percayalah pada anakmu yang satu ini….
Bahwasannya, namamu tidak kalah banyak ku sebut dari nama keluargaku dalam
untaian doaku. Iya, begitu juga dengan nama anakmu.”
**
Kamu, yang
merasa tersaingi oleh langit. Butuh berapa ribu kali aku katakan? Bahwa kamu
dan langit itu satu. Ya meskipun berbeda.
Kamu,
seorang anak tunggal yang dilahirkan dari rahim seorang Ibu yang mempunyai tangan sekuat baja. Aku tau beban hidupmu
lebih berat, aku tau. Karena secara tidak langsung, beban dari seorang anak
sulung, ataupun beban dari seorang anak bungsu sepertiku ada dalam genggamanmu.
Karna kau satu, bukan hanya untuk kedua orang tuamu, begitu juga untukku.
Kau tau?
Aku sangat merasa terhormat ketika kau dengan senang hati membagi kisah suka
dan dukamu kepadaku yang berarti kau percaya kepadaku. Aku merasa terhormat,
karena secara tidak langsung aku menjadi tempatmu berpulang, aku menjadi
rumahmu.
**
Ibu…
Aku tahu bahwa bukan hanya tanganmu yang sekuat baja, tapi
juga hatimu, Bu. Kegigihanmu
yang selama ini ku dengar dari cerita anakmu, menggambarkan betapa kuatnya
hatimu.
Ajari aku, Bu. Ajari aku mempunyai hati sekuat hatimu, agar
aku bisa bertahan. Agar aku bisa bertahan dari sakit—yang aku yakin, dengan tidak sengaja—yang terasa tersebab anakmu.
Ingin rasanya berlari dan jatuh terduduk dalam pelukanmu,
meratapi semua yang telah terjadi,
dan membiarkan semuanya terhanyut dalam tangisan. Tapi…. Tapi kurasa itu tak mungkin. Karena aku tau tak
mungkin juga untukku memanggilmu dengan sebutan Mama’.
Aku mohon, Bu…… berikan aku kekuatan, berikan aku penangkal
rasa sakit ini agar hatiku pun sekuat baja seperti tanganmu. Meskipun belum
pernah kita berbincang, meskipun belum pernah engkau tahu siapa nama belakangku, biarkan aku kuat seperti hatimu, Bu.
Maafkan aku yang secara tidak langsung ingin memenangkan
kekeras-kepalaan hati ini untuk menyimpan anakmu hanya untukku, Bu. Maafkan aku:”
Itu keputusan anakmu. Itu keputusan anakmu yang seharusnya
aku terima dengan ikhlas, karena itu untuk hidupnya,
bukan hidupku atau hidup kita.
Aku terlalu egois untuk dapat memilikinya.
Tapi… aku mencoba untuk tak menjadi gadis yang lemah. Aku
yakin aku bisa.
Karena……
“Hakikat
cinta adalah melepaskan. Semakin sejati ia, semakin tulus kau melepaskannya.
Percayalah, jika memang itu cinta sejati kau, tidak peduli aral melintang, ia
akan kembali sendiri padamu. Banyak sekali pecinta di dunia ini yang melupakan
kebijaksanaan sesederhana itu. Malah berbual sebaliknya, berbual bilang cinta,
namun ia menggenggamnya erat-erat.”
Eliana – Tere
Liye
Mungkin tulisan ini terlihat bodoh seperti yang kalian pikirkan. Percayalah akupun merasa seperti itu. Karna dengan waktu, ini
semua hanya akan menjadi omong kosong.
Ada saat dimana kita harus memilih untuk melanjutkan atau berhenti. Tetapi, sebelum keputusan itu diambil berdasarkan fakta, pasti kita dibingungkan, merangkai-rangkai kejadian lewat imajinasi baik yang baik ataupun yang buruk. Dan cara terbaik untuk menunggu bongkahan fakta yang akan menentukan lanjut atau tidaknya adalah dengan memperkuat hati akan segala macam perasaan yang akan dirasa nanti.
Dengan perlahan tapi pasti, pemahaman itu datang. Fakta itu datang, dan keputusan itu harus dibuat. Pemahaman tentang ini semua, pemahaman tentang kepergian kau, pemahaman dibalik semuanya. Pemahaman itu datang! Pemahaman itu datang!
Akhirnya fakta itu datang, dan aku tau keputusan apa yang harus aku ambil. Ini jalan terbaik yang Tuhan pilihkan untukku. Tuhan tau jika kau tak begitu baik untukku. Terimakasih telah memilih jalan ini untukku, Tuhan. Pemahaman-Mu sungguh telah datang.
Dan Ibu, maaf, karna bukan hanya anakmu yang mempunyai Ibu kuat, tapi aku juga, Bu. Mamakku selalu disana, berdiri dibelakangku untuk menuntunku. Mamakku juga yang meyakinkanku kalau aku cukup memang kuat untuk ini. Aku anaknya yang kuat, Bu. Terimakasih untukmu, Mak, Bu.
**
Teruntuk kamu
Bukan menjaga hati untukmu, tapi menjaga hati darimu. Kamu
yang jahat atau aku yang jahat?
Kesedihan ini ada karnamu, kamu melakukannya karna keadaan atau karna ku? Jadi
siapa yang jahat?
Aku fikir….berdiri di belakangmu akan membuatku terlindungi.
Tapi ternyata bediri di belakangmu, membuatmu jatuh tertunduk lesu.
.
.
.
Ah, sudahlah, sudah saatnya aku berjalan melewatimu. See you in another life.
Tertanda, Bintang.
0 komentar:
Posting Komentar